Daerah

Dr. Zulmaeta, Wali Kota yang Menjalankan Dua Pengabdian Tanpa Sentuh Uang APBD.

Payakumbuh — Mengemban dua tanggung jawab besar bukan perkara ringan. Ibarat meniti di atas dua titian yang rapuh, salah langkah bisa membuat jatuh ke jurang sorotan publik. Namun, bagi dr. Zulmaeta, tugas sebagai Wali Kota Payakumbuh sekaligus dokter spesialis kandungan adalah dua sisi dari satu niat tulus, mengabdi untuk manusia.

Zulmaeta bukan nama asing bagi masyarakat Pekanbaru. Ia dikenal sebagai pemilik Rumah Sakit Andini, tempat banyak keluarga dari berbagai daerah rela menunggu berminggu-minggu demi mendapatkan pelayanan darinya. Ketelatenannya dalam mendampingi pasien membuat namanya harum di kalangan ibu-ibu dan tenaga medis di Provinsi Riau bahkan di luar provinsi tersebut.

Namun, di tengah kesibukan menjalankan roda pemerintahan, muncul berbagai persepsi publik di Payakumbuh. Sebagian menyoroti kebiasaannya berada di Pekanbaru pada akhir pekan — hari Sabtu dan Minggu — untuk menjalankan praktik kedokterannya.

Secara hukum, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang melarang kepala daerah merangkap jabatan. Namun, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 ayat (1) huruf h, larangan itu hanya berlaku bagi pejabat negara lain, komisaris, atau direksi pada BUMN dan BUMD. Profesi dokter tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga tidak melarang seorang kepala daerah yang berprofesi dokter untuk tetap berpraktik, selama memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang sah dan menjalankannya sesuai ketentuan.

Ibarat biduk yang berlayar di dua arus, Zulmaeta menakhodai keduanya dengan keseimbangan, tidak menabrak hukum, tidak pula menanggalkan sumpah profesi.

Saat awak media menanyakan kepada, Kepala Dinas Kominfo Kota Payakumbuh, Kurniawan Syahputra, menegaskan bahwa aktivitas medis dr. Zulmaeta di Pekanbaru tidak menggunakan dana APBD sedikit pun. Semua biaya, mulai dari perjalanan hingga bahan bakar kendaraan, ditanggung secara pribadi.

“Beliau membiayai sendiri aktivitas pulang-pergi ke Pekanbaru. Tidak ada SPPD, tidak ada SPJ, dan tidak ada ajudan yang ikut. Itu murni urusan pribadi. Kalau dibebankan ke APBD, tentu akan jadi temuan BPK,” ujar Kurniawan.

Pernyataan itu menjadi bukti bahwa sang wali kota tahu menempatkan garis batas antara urusan negara dan urusan pribadi, ibarat “benang halus yang tak pernah ia kusutkan.”

Fenomena serupa bukan hanya milik dr. Zulmaeta. Dalam Pilkada serentak 2024, tercatat 38 kepala daerah berlatar belakang dokter yang kini menjalankan roda pemerintahan di berbagai wilayah Indonesia.

Salah satu contohnya adalah dr. H. Herman Sutrisno, Wali Kota Banjar periode 2019–2024, yang tetap membuka praktik di Cisaga, Kabupaten Ciamis, setiap pagi dan sore. Ia menjadi bukti nyata bahwa profesi dokter dan jabatan publik dapat berjalan beriringan selama dijalankan secara profesional.

Seorang pengamat politik di Payakumbuh menilai, profesi ganda bukan masalah bila dilakukan dengan niat pengabdian dan disiplin waktu.

“Lihat saja, ada anggota DPR RI yang juga tetap berkarya di dunia hiburan. Selama tidak mengganggu tugas dan tetap dalam koridor hukum, itu bukan pelanggaran,” ujarnya.

Di mata warga, dr. Zulmaeta tetap menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan baik. Ia dikenal mudah dihubungi, terbuka, dan sering menerima masyarakat di rumah dinasnya meski di luar jam kerja.

“Kalau tanggung jawabnya jalan, tidak ada yang perlu dipersoalkan. Ada wakil wali kota, ada sekda, jadi roda pemerintahan tetap berputar,” ujar Hen,salah satu warga.

“Sudahlah, jangan digiring opini yang menyudutkan. Lebih baik kita kawal programnya yang jelas untuk kemajuan kota,” tambahnya.

Menurut sumber di lingkungan Pemko Payakumbuh, bila ada agenda penting di akhir pekan, Zulmaeta memilih menunda praktik di Pekanbaru dan tetap berada di Payakumbuh. Hal itu menunjukkan komitmennya bahwa kepentingan masyarakat tetap menjadi panglima.

Dalam kesehariannya, Zulmaeta menjalankan dua amanah besar yang berbeda namun berpangkal pada satu nilai, pelayanan kepada sesama. Seperti pepatah lama, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” ia memikul dua peran dengan keseimbangan antara logika dan nurani.

Menjadi dokter dan wali kota bukan dua dunia yang bertentangan, melainkan dua jalur pengabdian yang bermuara pada tujuan yang sama — menyembuhkan, menolong, dan menyejahterakan manusia.

(*)

Admin :
Fajri HR.