Opini

MEMBONGKAR BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA: MENGANALISIS DAMPAK LEMAHNYA HUKUM BAGI KORUPTOR

 

Oleh: Reza Viora Reidita

Program Studi Manajemen Universitas Baiturrahmah

Viorareza29@gmail.com

 

Korupsi sudah lama melanda Indonesia dan sudah menjadi budaya yang sering dilakukan secara berulang. Meski telah banyak cara yang dilakukan untuk memerangi masalah korupsi ini, namun lemahnya undang-undang dan kurangnya akuntabilitas menyebabkan kasus korupsi masih sering terjadi. Artikel ini berisi analisis dampak dari lemahnya undang-undang di Indonesia terhadap budaya korupsi yang terjadi.

Alasan pertama banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia adalah masih lemahnya undang-undang yang berlaku bagi para koruptor. Undang-undang korupsi di Indonesia sudah ketinggalan zaman dan tidak cukup komprehensif untuk mengatasi berbagai bentuk kasus korupsi yang terjadi. Hukuman yang diberikan kepada para koruptor tidak cukup berat untuk mencegah terjadinya korupsi. Selain itu, kasus-kasus korupsi sendiri itu sering mengalami penundaan dan terdapat banyak celah dalam proses hukum. 

Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah terbentuk dan telah disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan, namun lemahnya hukuman bagi para koruptor masih menjadi permasalahan yang sangat signifikan. Indonesia sendiri telah memiliki berbagai undang-undang dan peraturan untuk memberantas kasus korupsi, termasuk Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan KUHP. 

KPK berdiri pada tahun 2002 sebagai lembaga independen yang memiliki tugas menyelidiki dan mengadili kasus korupsi. Namun, meskipun ada upaya-upaya tersebut, faktanya hukuman yang diberikan terhadap koruptor di Indonesia masih sangat lemah. Para koruptor seringkali hanya didenda atau dipenjara dalam jangka waktu singkat, bahkan banyak koruptor yang masih menerima pengurangan hukuman dan mudah mendapatkan remisi. 

Beberapa koruptor yang mendapatkan pengurangan hukaman adalah Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa Pinangki harus berhadapan dengan hukuman karena menerima suap sebesar 7,35 miliar dari Djoko Tjandra terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Vonis yang diberikan pengadilan terhadap jaksa Pinangki menuai kecaman publik karena dinilai  mencederai rasa keadilan.

Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada pengadilan negeri Jakarta Pusat memvonis Jaksa Pinangki 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta subsidair enam bulan kurungan. Saat mengajukan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding jaksa pinangki dan mengurangi vonis hukuman menjadi empat tahun penjara. Alasan pengurangan hukuman jaksa Pinangki dikarenakan jaksa Pinangki sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta ikhlas dipecat dari profesinya sebagai jaksa. 

Setelah dua tahun menjalani masa hukuman, jaksa Pinangki bebas bersyarat pada 6 September 2022. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan di luar lapas bagi narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga dari masa pidana dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan. Jaksa Pinangki beberapa kali mendapat remisi atau potongan pidana. Jaksa Pinangki mendapat remisi Hari Raya Idul Fitri 2022 selama satu bulan dan remisi 3 bulan dalam rangka HUT ke-77 Republik Indonesia.

Kenyataan yang seperti inilah yang menjadi penyebab korupsi sulit diberantas di Indonesia. Kasus korupsi menjadi semakin sulit diselesaikan karena kurangnya hubungan antara lembaga-lembaga negara atau kurangnya perspektif yang sama untuk memberantas korupsi. Disinilah hukum seharusnya memiliki peranan penting dalam penegakan keadilan. Tidak adanya ketegasan dalam mengadili suatu tindakan korupsi, hal inilah yang berakibat pada lemahnya perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi di indonesia.

 

Admin :
Faisal Anwar