PADANG – Aroma rendang yang semerbak dan gema takbir yang masih memenuhi udara pasca perayaan Idul Fitri di Sumatera Barat, alih-alih menghadirkan kehangatan persaudaraan, justru menyisakan pilu mendalam bagi sejumlah jurnalis di Padang. Selasa pagi, 1 April 2025, yang seharusnya menjadi momen silaturahmi akrab dalam acara rumah terbuka Gubernur H Mahyeldi Ansharullah, berubah menjadi episode kekecewaan pahit bagi para pewarta berita yang hendak menjalankan tugas mulia mereka.
Di bawah sengatan mentari pagi yang mulai meninggi, harapan terpancar di wajah para jurnalis. Kamera dan alat perekam telah siap di tangan, bukan hanya untuk mengabadikan momen kebersamaan, namun juga untuk menyampaikan pesan persatuan dan kegembiraan Idul Fitri kepada masyarakat luas. Mereka datang dengan niat tulus untuk menjalin kedekatan dengan pucuk pimpinan provinsi, sebuah kesempatan penting untuk mempererat relasi antara pers dan pemerintah daerah.
Namun, langkah mereka terhenti di hadapan barikade aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sumatera Barat di gerbang kediaman gubernur. Seorang jurnalis yang enggan disebutkan namanya, dengan nada getir menceritakan bagaimana harapan mereka seketika pupus.
"Maaf, Bapak, Ibu, kami diperintahkan untuk membatasi jumlah tamu. Ini instruksi dari atasan," demikian ucapan seorang anggota Satpol PP yang disampaikan dengan raut wajah menyesal. Kata-kata itu bagai halilintar di siang bolong bagi para jurnalis yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk meliput acara yang seharusnya terbuka untuk publik. Alasan klasik mengenai keterbatasan kapasitas seolah menjadi tembok penghalang, memisahkan para pencari berita dari narasumber utama mereka di hari yang suci ini.
menyedihkan lagi seorang ibu yang Mambawa bayi berusia 2 Minggu dan se orang anak kecil di hadang oleh Satuan Pamong Praja dengan alasan tidak ada open house bagi masyarakat, karena ini tertutup, " tidak di perbolehkan masuk selain tamu undangan" sehingga ibu tersebut di usir secara paksa oleh Satpol PP.
"Saya datang ke istana karena tiap tahun biasanya ada open house untuk masyarakat umum, saya bukan pengemis dan bukan minta minta pak, saya hanya ingin bertemu dengan pak gubernur" tindas ibu tersebut.
Kekecewaan jelas tergambar di wajah-wajah yang tertahan di luar gerbang. Tugas peliputan yang seharusnya menjadi prioritas, justru terganjal oleh kebijakan yang terasa janggal dan tidak masuk akal. Gumaman kekecewaan bercampur dengan nada heran terdengar di antara para jurnalis yang terpaksa mengurungkan niat untuk bertatap muka langsung dengan gubernur.
Ironisnya, di tengah kekecewaan massal ini, terselip sebuah pemandangan yang semakin menambah luka di hati para jurnalis yang terhadang. Beberapa rekan seprofesi, dengan alasan memiliki jalur komunikasi pribadi dengan gubernur melalui aplikasi pesan instan, tampak leluasa melenggang masuk ke dalam rumah dinas. Pemandangan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, namun juga menorehkan rasa pahit tentang adanya "privilese" di tengah acara yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keterbukaan dan kesetaraan.
Perasaan terpinggirkan dan tidak dianggap semakin menguat ketika para jurnalis membandingkan situasi ini dengan kehangatan yang mereka rasakan di rumah dinas Ketua DPRD Sumbar, H Muhidi. Di sana, pintu benar-benar terbuka lebar. Sambutan ramah dan senyum tulus menyambut kedatangan para jurnalis, tanpa ada sekat atau pembatasan yang menghalangi tugas mereka. Bahkan, acara open house di kediaman Ketua DPRD berlangsung selama dua hari penuh, sebuah cerminan komitmen untuk merangkul seluruh elemen masyarakat, termasuk para jurnalis yang sehari-hari bertugas menyampaikan informasi kepada publik. (Tiem)