Jul 13, 2024
Pendidikan salah satu kekayaan yang tidak ternilai harganya, oleh karenanya ia harus dikelola dengan baik hingga mampu menembus cita-cita yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Kekayaan ini seakan tak berharga bila dimata para politisi dan konglomerat yang memandang keseluruhan sumber daya hanya demi uang dan keuntungan. Bagaimana bangsa ini maju bila pandangan para pemegang kebijakan hanya melihat sisi yang berdampak untuk saat ini dan terlihat menjanjikan. Dalam kebijakan yang seolah membangun bangsa dimulai dari bangunan fisik dan pengelolaan secara efisien namun tidak menyiapkan generasi yang akan melanjutkan pembangunan, apa yang akan terjadi? Korelasi kemajuan dan kekayaan intelektual menjadi yang utama dan sangat disayangkan perhatian pemerintah tidak memihak pada kemajuan pendidikan secara masif. Penggelontoran dana APBN sebesar 20% untuk pendidikan nyatanya tidak berdampak secara siginifikan bagi perkembangan inteektual khususnya sekolah dan perguruan tinggi yang mewadahi generasi emas untuk keberlanjutan Indonesia.
Jika berdasarkan data International IQ test rata-rata IQ per 1 Januari 2024 data yang dihimpun dari 1,69 juta orang, Indonesia mendapat poin sebesar 92, 64% menjadi yang terendah di Asia Tenggara di peringkat global, Indonesia berada pada urutan 95 dari 115 negara. Negara Asia Tenggara sesuai urutan International IQ rata rata; Singapura (5), Vietnam (20), Malaysia (38), Thailand (53), Myanmar ( 61) Filipina ( 70), Kamboja ( 75), Laos (93), Indonesia (95). Data ini sangat menyayat hati sebagai rakyat Indonesia, dengan alam yang melimpah sumber protein, vitamin, sumber gizi lengkap namun apa yang membuat Indonesia justru menempati urutan bawah dari seluruh negara di dunia. Jika ditelusuri Universitas terbaik di Asia 2025 yang dirilis oleh QS World University pada 4 Juni 2024 dengan total 1.500 universitas di dunia, universitas di Indonesia menduduki posisi urutan ke 49 dan 58 yang diraih oleh Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada dan peringkat 239 di dunia. Data ini menggambarkan betapa jauhnya kemajuan Indonesia dalam pendidikan. Kasus terbaru Universitas Lambung Mangkurat yang terdeteksi terdapat rekayasa guru besar dengan berbagai cara yang dilakukan oleh belasan guru besar tersebut, diberitakan melalui majalah Tempo berbagai guru besar memakai jurnal predator dan bekerja sama dengan asesor jurnal dan guru besar untuk meloloskannya. Realita yang sangat memalukan intelektual, ranah pendidikan bukan rempat untuk dimanipulasi apalagi terdapat kepentingan politis. Hal ini bukan hal baru namun harus disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia akan bagaimana negeri ini jika saat ini hal ini yang terjadi. Janji manis para calon pemimpin dan politisi yang seolah faham akar masalah pendidikan seolah sirna tersapu air sejak hari pertama ia dilantik dan ia akan datang kembali meminta suara rakyat 5 tahun mendatang.
Kebanggaan negeri ini hanya pada perjuangan para pendahulu bangsa yang memiliki intelektual dan kepiawaian berpolitik yang handal. Dalam profesional pendidikan dan kelihaian menjadi aktor perpolitikan nasional. Revolusi mental yang digagas oleh soekarno setidaknya menjadi gambaran betapa hari ini mental pejabat negara sangat membutuhkan wejangan Bapak Proklamator itu. Efisiensi yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam balutan Kurikulum Merdeka yang justru mengarah komersialisasi dan industrialisasi pendidikan. Degradasi moral yang dibawa oleh arus media didukung dengan pembiaran oleh kurikulum yang hanya berpaku pada isi kepala siswa tanpa mempertimbangkan dan menindaklanjuti tumbuh kembang moral siswa sekolah. Pertarungan yang sengit antara mengikuti kurikulum yang semakin rancu mengarahkan siswa menjadi terampil untuk menjadi pekerja komersil bahkan ditingkat universitas berbagai program Merdeka Belajar kampus Merdeka (MBKM) dengan didanai kementerian menghantarkan mahasiswa menjadi kompeten sebagai budak korporat tidak lagi memegang penuh jiwa intelektual.
Sistem Pendidikan yang Dinamis Tanpa Kepastian
Jika ditelisik sitem pendidikan yang mengakomodir keseluruhan aturan dalam pendidikan yakni sejak awal dimulai dengan (1)Rentcana Pelajaran 1947,(2) Rencana Pelajaran Terurai 1952, (3) Rentcana Pendidikan 1964, (4) Kurikulum 1968, (5) Kurikulum 1975, (6) Kurikulum 1984, (7) Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, (8) Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK) 2004, (9) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, (10) Kurikulum 2013(K-13), (11) Kurikulum Merdeka. Perubahan yang esensinya tidak terlalu penting membuat guru dan pendidikan terombang-ambing. Sistem yang seolah paling bagus dan mengakomodir seluruh satuan dan tujuan pendidikan pada kenyataannya akan mengalami perubahan dikemudian hari sesuai dengan permintaan pemimpinnya. Hemat saya dalam perubahan itu tentu tidak keseluruhan yang berubah hanya bagian yang mengalami penyesuaian seperti sekolah vokasi dan perguruan tinggi yang semakin mengikuti perkembangan penemuan-penemuan. Hal yang pada intinya tidak sangat penting untuk berubah namun dipaksakan untuk merubah penamaan hingga keseluruhan sistem serta buku penunjang juga ikut berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dibalik program tu semua sudah ada anggaran yang digelontorkan dan ini masih menjadi penyakit yang harus diberantas secara masif.
Peran kementerian dan lembaga negara yang lain berikut dengan dinasnya tidaklah begitu esensial, pasalnya program yang tujuannya langsung mengena pada lapisan masyarakat bawah justru dibagian teratas atau pejabat malah dipergunakan untuk yang tidak penting. Hal ini disampikan oleh Presiden Joko Widodo yang menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Ia mencontohkan anggran stunting sekitar 80% hanya untuk perjalanan dinas, honor dan rapat. Hal serupa juga terjadi pada anggaran daerah untuk penembangan UMKM , yang mencapai Rp2,5 miliar dari jumlah tersebut Rp 1,9 miliar dihabiskan untuk perjalanan dinas, honor dan rapat. Gambaran yang barangkali terjadi pada seluruh instansi tidak menutup kemungkinan anggaran pendidikan mengalami hal yang sama.
Peran DPR yang seolah tidak berguna
DPR sebagai pengawas kebijakan pemerintah dari perencanaan hingga implementasi anggaran di daerah seolah menutup mata dengan problematika pendidikan hari ini. Akar masalah yang tidak diselesaikan akan terus tumbuh dan tidak menemukan celah solusi yang terbaik. Perubahan kurikulum jika mengatasi ketimpangan pendidikan dari timur hingga ke barat Indonesia akan menguntungkan namun yang terjadi justru sebaliknya perubahan hanya meninggalkan kebingungan para siswa dan guru kajian di pusat yang tidak sesuai dengan realita di pelosok yang jauh dari ibukota. Jika DPR melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pengawas pemerintah dan instansi yang melayani rakyat harusnya permasalahan ini sudah menemukan titik terang, betapa banyak keluhan para guru dan siswa yang tidak diacuhkan. Logikanya memang sulit membuat sistem yang mengakomodir keseluruhan daerah dan satuan pendidikan namun paling tidak terdapat celah yang bisa membuat guru berimprovisasi dan keringanan dalam mengerjakan berbagai tugas tambahan sebagai guru Pegawai Negeri Sipil dengan segala konsekuensi laporan profesi.
Kemajuan hanya untuk Keberlanjutan Pembangunan
Cita-cita Presiden Joko Widodo ialah terakomodirnya segala kebutuhan rakyat dari sabang sampai merauke dengan segala konsekuensi yang ia tanggung. Mememuhi semua kebutuhan rakyat perlu uang dan dengan utang negara yang semakin bertambah tidak masalah baginya dengan catatan semua proyek berjalan dan rakyat senang pada kemajuan pembangunan tersebut. Ruh utama bagi keberlanjtan ialah pendidikan yang menjadi satu kealpaan bagi Presiden Joko Widodo, ia menginginkan pendidikan maju namun akses yang dibutukan belum terpenuhi dan tidak serius dibebahi oleh pemerintah. Ironi yang sangat jelas dan tergambar bagaimana pola pejabat yang kenyang dengan anggaran proyek dan bonus nya sebab dari sanalah bisa anggaran dipermainkan.