Mei 16, 2021
Pekatnews.com Setelah mengenakan korset, para perempuan saat itu lalu mengenakan rok yang bertumpuk, tiga sampai enam, yang dibuat kaku sehingga bisa menciptakan bentuk mirip lonceng. Bunyi gemerisik akan terdengar saat mereka lewat.
Rok terakhir, yang paling luar atau dikenal sebagai over-petticoat biasanya dibuat dari sutra, katun, satin, dan dihias cantik menggunakan pita atau renda.
Lapisan pakaian luar di Zaman Victoria sangat bergantung pada waktu dan musim. Pakaian dibuat untuk pagi atau sore hari, untuk berjalan atau mengendarai kuda.
Busana pagi biasanya dikenal sebagai pakaian rumahan. Biasanya lebih sederhana. Lengannya panjang, dengan garis leher tinggi dengan sedikit atau tanpa hiasan (trimming). Sementara, ujungnya biasanya menyentuh lantai.
Sedikit berbeda, busana jalan-jalan dibuat dengan menggunakan lebih banyak bahan, sedikit lebih pendek, untuk memudahkan gerak.
Sementara, gaun sore biasanya dirancang lebih mewah, dengan garis leher lebih rendah.
Pelengkap berupa selendang populer saat itu, dipakai baik di siang atau malam hari.
Kemewahan pakaian yang dikenakan disesuaikan dengan pangkat atau status sosial tuan rumah yang mengundang.
Gaun malam lebih mewah, dibuat dengan bahan terbaik seperti satin atau sutra dan cenderung memiliki siluet yang ramping.
Garis lehernya tinggi dan lengannya panjang tapi tidak dihiasi dengan berlebihan, untuk mencegah insiden yang tak diinginkan di meja makan.
Namun, soal kemewahan tak ada yang mengalahkan gaun pesta. Desainnya pun khusus: garis leher jatuh, hampir tanpa lengan, dan kain mahal yang membuat penampilan pemakainya kian wah. Gaun sering dihiasi dengan batu-batu permata.
Salah satu fashion yang paling ekstrem pada masa itu adalah penggunaan crinoline -- rok besar dari anyaman yang menggantung dari pinggang, lalu ditutupi rok super besar.
Meski bisa bikin tampilan rok mengembang sempurna, crinoline adalah benda berbahaya. Pemakainya pun bakal kesulitan bergerak.
Namun, bukan itu yang paling mengerikan. Crinoline yang mirip kurungan ayam ternyata bisa mengundang maut. Setidaknya 3.000 perempuan tewas karenanya.
Pada 1858, seorang wanita di Boston berdiri terlalu dekat dengan perapian saat roknya terbakar, dan hanya perlu beberapa menit bagi tubuhnya untuk terbakar secara keseluruhan.
Sementara, pada Februari 1863, crinoline yang dipakai Margaret Davey, seorang pelayan dapur berusia 14 tahun. Ia kemudian meninggal akibat luka bakar yang dideritanya.
Di Inggris, selama periode dua bulan, 19 kematian dikaitkan dengan crinoline yang terbakar. Di sisi lain, para perempuan yang jadi saksi peristiwa tragis itu tak bisa berbuat apa-apa, mereka takut rok mereka sendiri terbakar saat menolong korban.
Sementara itu, di Philadelphia, sembilan balerina terbunuh gara-gara busana yang dikenakan salah satu dari mereka tersambar api lilin di Continental Theater.
Setelah pertengahan Abad ke-19 berlalu, tiga peristiwa yang terjadi bersamaan menjadi momentum perubahan busana wanita ke arah yang baru.
Pertama adalah penemuan mesin jahit yang meningkatkan kecepatan dan kualitas jahitan. Lalu, penemuan pewarna sintetis yang membuat warna kain kian beragam dan cantik.
Kala itu, rok megar dengan mengenakan crinolines tak lagi populer. Bagian depan gaun pada masa itu bahkan cenderung rata. Sementara, bagian belakang masing menggembung dengan memasangkan rangka atau bustle
Pada tahun 1883, bustle adalah perlengkapan fashion yang harus dimiliki kaum wanita. Kerangka itu membuat tampilan para pemakainya menonjol di belakang, tepat di atas bokong mereka.
Gaya busana tersebut juga tak nyaman. Para perempuan yang memakainya tak mungkin bisa duduk di kursi.
Pada 1893, gembung di bagian belakang menyusut, dan pada tahun 1890-an bustle digantikan lipatan yang jatuh di bagian belakang rok(red)
Source Liputan6