Opini

Penghapusan Jurusan SMA Tantangan bagi Sekolah

 

 

 


Oleh : Sabarnuddin
(Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang)

Penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi salah satu faktor penunjang siswa belajar lebih konsisten pada minatnya. Namun belakangan menjadi permasalahan akibat penjurusan di sekolah ini, pasalnya dalam menentukan jurusan di perguruan tinggi siswa tidak dapat melompat dari asal jurusannya. Ia hanya diperbolehkan memilih jurusan yang sepadan dengan jurusan ketika SMA. Hal ini sangat merugikan siswa, dengan keahlian dan keinginan yang ia harapkan ternyata ia terhalang oleh regulasi yang telah ditetapkan dalam peraturan masuk perguruan tinggi. Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa oleh Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) berlaku mulai Tahun Ajaran 2024/2025. Para pakar turut memberikan komentar diantaranya Pengamat pendidikan Darmanigtyas menyebut kalau implementasi dari konsep tersebut akhirnya sama saja dengan sistem peminatan Kurikulum 2013. Bukan hanya tidak menawarkan sistem pendidikan yang baru, namun ia juga melihat program tersebut hanya merepotkan sekolah. Sebagai contoh, ada sekolah yang membagi dengan paket-paket. Paket pelajaran yang kira-kira memang anak-anaknya akan kuliah di jurusan IPA, ada pula paket untuk menyiapkan mereka yang akan kuliah ke jurusan sosial humaniora. Pada akhirnya hanya ganti istilah dari jurusan menjadi paket. Kebijakan dihapusnya penjurusan itupun keliru, kebijakan penghapusan jurusan tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara maju yang telah memiliki sistem pendidikan yang maju. Sedangkan Indonesia pada saat ini masih kondisi sistem pendidikan sangat memperihatinkan, pemerintah tidak mengkaji bagaimana kesiapan sekolah-sekolah di daerah untuk menerapkan ini. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam sistem peminatan dahulu pada Kurikulum 2013 ialah ada mata pelajaran yang menjadi favorit siswa, sehingga guru kelebihan jam mengajar atau bahkan sampai tidak cukup pengajar. Disisi lain ada pula mata pelajaran yang sepi peminat padahal guru tersedia cukup. Hal tersebut tidak bisa dianggap sepele karena terjadi hampir di setiap sekolah dan ini menyangkut dengan kesejahteraan guru. 
Pengamat pendidikan yang juga Dekan Fakultas Keguruan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram Dr.Muhammad Nizaar,M.Pd. Si., turut memberikan penyataan, kebijakan penghapusan jurusan tersebut memang arahnya untuk memerdekan siswa dalam memilih mata pelajaran yang diminati. Namun, dalam prakteknya tidak mudah untuk dilakukan sekolah. Sidswa diberikan kebebasan memilih mapel yang mereka inginkan, sehingga akan berdampak pada banyaknya kelompok belajar di sekolah. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri, karena pemilihan mapel sangat bergantung dari ketersediaan guru di sekolah tersebut. memang ada stigma jika mengambil jurusan IPA di SMA maka itu kelompok siswa-siswa yang pintar, sedangkan jurusan bahasa dan IPS kurang bergengsi. Sigma itu pula salah satunya yang memengaruhi pemerintah dalam menghapus penjurusan di SMA. Dikotomi keilmuan juga menjadi pertimbangan pemerintah sehingga menghapus penjurusan. Padahal, justru memfokuskan siswa saat SMA akan membuat siswa semakin siap memilih jenjang berikutnya. 
Penjelasan Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan(BSKAP) Kemenendikbud Ristek Anindito Aditomo mengenai penghapusan penjurusan di SMA, bahwa penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA dilakukan untuk memberikan kebebasan bagi para siswa. Dalam hal ini kebebasan yang dimaksud adalah para siswa dapat memilih mata pelajaran di sekolah sesuai minat, bakat, kemampuan dan tujuan studi lanjut atau karier yang direncanakan. Penjurusan di SMA selama ini cenderung menimbulkan diskriminasi di antara para siswa. Sebab, tidak sedikit para siswa yang memilih jurusan IPA bukan berdasarkan bakat, minat, dan rencana masa depan, tetapi mempertimbangkan privilese saat memilih program studi di perguruan tinggi. 

Evaluasi Sekolah dan Guru di Daerah
Kajian yang matang dalam menetapkan kebijakan ini tentunya menjadi catatan tersendiri untuk Kemendikbud Ristek. Apakah selama ini yang telah terjadi penjurusan mutu guru dan kesiapan sekolah telah ditinjau menyeluruh. Menyederhanakan masalah penjurusan dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari penjurusan seharusnya pemerintah meninjau ulang implementasi yang terjadi selama ini. sekolah dan guru dengan segala sikap menerima kenyataan rela mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan, faktanya kemudahan dalam mengatur dan memberikan arahan kepada siswa lebih terstruktur. Mengenai adanya ketimpangan perbedaan pandangan diantara siswa mengenai jurusan IPA, IPS, dan Bahasa bisa diatasi dengan tidak adanya perbedaan dalam penerimaan siswa di perguruan tinggi 
Sekolah dituntut untuk siap dengan segala konsekuensi termasuk dengan perbedaan peminatan jumlah yang nantinya akan terjadi.Guru sebagai tenaga di sekolah juga akan diminta profesional termasuk bila ada penambahan jam atau bahkan kekurangan guru, masalah ini harus segera sekolah carikan solusinya. Dengan penghapusan jurusan ini akan lebih menyulitkan guru yang nantinya menyiapkan rencana siswa kedepan mereka semakin kebingungan dalam menentukan pilihan jurusan di perguruan tinggi. Tugas sekolah memberikan penjelasan dan memberikan arahan sesuai minat siswa namun saat di sekolah siswa terkesan hanya ikut-ikutan teman dalam memilih minat mapel yang ditawarkan.

Regulasi Pendidikan yang Konsisten
Regulasi yang diterapkan oleh pemerintah yang selama ini berjalan terkesan hanya mengganti istilah atau hanya mengedepankan perubahan yang sejatinya tidak berdampak signifikan. Perubahan yang esensinya tidak diperlukan, hanya sebatas menghabiskan anggaran untuk mengganti buku paket dan sistem yang ada di sekolah bahkan tidak sedikit dengan guru yang mengeluh terkait aturan yang hanya membebani guru tidak meningkatkan kualitas guru dengan mengurangi beban administrasi. Kontinuitas kebijakan perlu namun tidak membuat aturan yang berbeda dengan dalih merampingkan, membenahi, dan lain sebagainya. Jika tujuan perubahan untuk membenahi maka dikemudian hari tidak lagi ada perubahan kurikulum dan turunannya yang membuat guru dan siswa seolah regulasi dapat berubah sesuai kemauan pimpinan bukan dengan realita pendidikan. 
Kajian yang matang terkait perubahan kurikulum harus diperhatikan, pasalnya perbedaan lokasi sekolah antara kota dan daerah menjadi satu faktor yang turut memengaruhi dalam implementasi kurikulum. Pemerintah harus menerapkan pemerataan terlebih dahulu untuk melihat persamaan hasil yang tidak jauh berbeda dari implementasi kurikulum yang dicanangkan.

Kesiapan Anggaran untuk Akses Pendidikan
Baru-baru ini Hakim MK mengeluarkan statemen bahwa pendidikan SD-SMP baik negeri atau swasta harus dibiayai penuh oleh negara, artinya siswa gratis sekolah SD-SMP. Karena telah diamanatkan oleh undang undang bahwa 20% dari APBN dipergunakan untuk pendidikan. Jika selama ini masih kekurangan pemerintah harus menghitung ulang berapa biaya untuk pendidikan dan diharuskan untuk tetap menggratiskan untuk siswa SD-SMP. Hal ini menjadi satu hal yang menarik mengingat biaya sekolah yang semakin meningkat sedangkan UU memerintahkan pemerintah untuk menanggung biaya yang diakibatkan oleh sekolah. Hal ini pula yang turut membuat penjurusan di tingkat SMA, dengan pilihan jurusan yang baik akan mendapat jurusan perguruan tinggi yang harapkan. Seyogyanya regulasi di perguruan tinggi yang dibenahi, penjurusan di SMA disetting untuk mengatur pemerataan siswa agar tidak terjadi ketimpangan yang tinggi antar mata pelajaran. 
Satu hal yang menarik ialah mengenai transparansi anggaran pendidikan, jika pemerintah berani dan BPK atau KPK yang berwenang untuk memeriksa sejauh mana realisasi anggaran pendidikan dan dimana celah yang rawan untuk dimasuki oleh para pejabat yang serakah dalam mengelola anggaran pendidikan. Transparansi menjadi jawaban ketika APBN yang besar namun tidak sesuai dengan realita pendidikan yang masih jauh dari harapan cita-cita UUD 1945. 

Admin :
Faisal Anwar